Opini  

Antara Plat Kendaraan dan Langkah Kaki yang Hilang, ASN Aceh di Sumut Ajak Masyarakat Belajar Melangkah Kembali

Ilustrasi seputar Artikel Rahmat Nur ASN Aceh yang sedang menjalankan pendidikan S2 di Sumatera Utara.*

MEDAN | NANGGROENEWS.com – Di tengah maraknya perdebatan publik soal wacana perubahan plat kendaraan dari BL ke BK yang disampaikan Gubernur Sumatera Utara, seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) asal Aceh yang sedang menjalani tugas belajar di Sumatera Utara justru menyoroti persoalan yang lebih mendasar: kebiasaan masyarakat yang kian jarang berjalan kaki.

‎ASN tersebut, Rahmat Nur, dalam refleksinya menyebut bahwa perdebatan seputar plat kendaraan seharusnya tidak membuat masyarakat lupa pada nilai-nilai kehidupan sederhana di ruang publik, termasuk budaya berjalan kaki. Ia menilai, masyarakat kini terlalu sibuk memperdebatkan identitas daerah melalui kendaraan bermotor, namun jarang memikirkan bagaimana manusia seharusnya melangkah dengan kesadaran.

“Kita terlalu sibuk memperdebatkan plat kendaraan, tetapi jarang memikirkan bagaimana kita bergerak sebagai manusia,” ujarnya dalam tulisannya yang berjudul Antara Plat Kendaraan dan Langkah Kaki yang Hilang.

Rahmat mengamati, di banyak kota di Aceh maupun Sumatera Utara, trotoar kini rusak dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Jalur pejalan kaki kerap dipenuhi parkiran dan pedagang kaki lima, sementara masyarakat lebih memilih menggunakan kendaraan bermotor meski hanya menempuh jarak ratusan meter.

‎Menurutnya, dalam pandangan sosial yang berkembang saat ini, berjalan kaki sering dianggap sebagai tanda kemiskinan atau keterpaksaan. Padahal, di negara-negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, Belanda, hingga Jerman, berjalan kaki justru menjadi gaya hidup modern dan sehat.

‎“Di sana, para pejabat, pegawai, hingga pengusaha besar berjalan kaki tanpa rasa malu. Martabat manusia tidak ditentukan oleh kendaraan yang dikendarai, melainkan oleh kesadaran menjaga lingkungan dan kesehatan diri,” tulis Rahmat.

‎Ia menilai, kemajuan bukan berarti semakin cepat berlari dengan mesin, tetapi semakin bijak melangkah dengan kaki sendiri. Namun, realitas di Aceh dan Sumatera Utara menunjukkan masyarakat kini terjebak dalam ritme hidup yang serba cepat dan instan.

‎“Akibatnya, kita kehilangan banyak hal: ruang sosial, interaksi manusia, bahkan kesempatan untuk sekadar menatap langit dan merasakan tanah di bawah kaki,” tambahnya.

Bagi Rahmat, berjalan kaki bukan sekadar aktivitas fisik, melainkan juga tindakan sosial, ekologis, dan spiritual. Ia mengajak masyarakat untuk melihat berjalan kaki sebagai cara sederhana memulihkan keseimbangan hidup antara tubuh, pikiran, dan lingkungan.

Sebagai ASN yang sedang menimba ilmu di luar daerah, Rahmat mengingatkan bahwa pembangunan sejati tidak hanya diukur dari infrastruktur besar atau pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari karakter masyarakat yang sadar lingkungan dan peduli pada sesama.

“Pemerintah daerah perlu menata kembali ruang kota agar ramah bagi pejalan kaki, menanam pohon rindang, memperbaiki trotoar, dan mengajak masyarakat untuk berjalan dengan bangga,” ujarnya.

‎Ia menegaskan bahwa identitas sejati sebuah daerah tidak ditentukan oleh huruf di plat kendaraannya, melainkan oleh bagaimana warganya melangkah — dengan kesadaran, empati, dan rasa kemanusiaan.

‎“Mungkin sudah waktunya Aceh dan Sumut kembali belajar berjalan. Bukan karena tidak punya kendaraan, tetapi karena kita ingin kembali menjadi manusia — yang melangkah, menatap, dan hidup dengan penuh kesadaran,” pungkasnya.[][][]