Warisan Leluhur Tradisi Adat Keunduri Blang Melekat Dipetani Aceh

Petani Kompak Mengantri Daging Kerbau Yang Disembelih Pada Kegiatan Kenduri Blang di Kecamatan Panga, Aceh Jaya Provinsi Aceh.*

Aceh Jaya — NanggroeNews.com | Di zaman serba cepat seperti sekarang, saat teknologi mendikte langkah dan budaya asing mudah masuk lewat layar ponsel, ada satu hal yang tetap menjadi penyejuk jiwa: tradisi. Ya, tradisi yang diwariskan dari leluhur—yang tak hanya berbicara soal adat, tapi juga cara hidup yang sarat makna. Salah satunya adalah Kenduri Blang, tradisi petani yang masih bertahan kuat di Kecamatan Panga, Kabupaten Aceh Jaya.

Apa itu Kenduri Blang? Mungkin sebagian orang luar akan menyangka ini semacam pesta kampung biasa. Tapi jangan salah. Ini adalah ritual yang punya ruh—sebuah prosesi spiritual yang menyatukan alam, manusia, dan Tuhan dalam satu helaan napas.

Doa dan Gotong Royong Sebelum Membajak Sawah.

Setiap tahun, saat musim tanam akan dimulai, para petani di Panga akan berkumpul di sebuah tempat khusus bernama balai kenduri. Tempat ini dianggap sakral, bukan karena bangunannya mewah, tapi karena di sanalah suara hati petani dikumpulkan dalam bentuk doa dan harapan.

Tradisinya sederhana, tapi penuh makna. Dimulai dari penyembelihan kerbau—bukan sapi, karena kerbau dianggap simbol kekuatan dan kerja keras dalam budaya tani. Dagingnya lalu dimasak bersama, dan seluruh warga duduk makan dalam satu barisan. Tidak ada hirarki di sini. Kaya atau miskin, tua atau muda, semua duduk sama rendah. Di sinilah kehangatan gotong royong benar-benar terasa, bukan cuma jargon kampanye.

Setelah perut kenyang, hati pun dikuatkan lewat doa bersama. Dipimpin oleh Teungku Sagoe, para petani dan tokoh adat membaca surat Yasin, memohon kepada Allah agar sawah mereka diberkahi, terhindar dari hama, dan diberi panen yang melimpah. Usai doa, diumumkanlah secara resmi kapan masyarakat mulai turun ke sawah secara serentak.

Sekda Aceh Jaya T Reza Fahlevi Turut Hadir dan Berdoa Bersama Masyarakat Adat Kecamatan Panga Dalam Ajang Tahunan Keunduri Blang, Kamis (22/06).*

Kenapa Harus Serentak?

Bagi orang awam, mungkin ini terdengar sepele. Tapi dalam dunia pertanian tradisional, waktu tanam yang serempak punya makna besar. Dengan menanam padi secara bersamaan, para petani berharap bisa mengurangi risiko hama yang berpindah dari sawah satu ke sawah lain. Ini bukan hanya soal teknis, tapi juga soal filosofi: bersatu lebih kuat daripada sendiri-sendiri.

Tradisi “Kenduri Pade”: Ketika Padi Mulai Menghijau

Tradisi ini tidak berhenti di awal musim tanam saja. Saat padi mulai tumbuh subur—disebut pade dara oleh para petani—mereka kembali berkumpul untuk menggelar Kenduri Pade. Acara ini mirip dengan Kenduri Blang, namun ditambah dengan satu prosesi unik: menyiram sawah dengan air Yasin atau yang dikenal dengan nama Ie Yasi. Air ini sudah didoakan dan dipercaya membawa berkah serta perlindungan.

Yang menarik, selama prosesi ini, para petani—khususnya laki-laki—diingatkan untuk tidak berbicara sombong atau menyebut hal-hal yang takabur. Karena tanaman, sebagaimana manusia, diyakini bisa “tersinggung” dan berbalik memberi hasil yang tidak baik. Sebuah pesan halus bahwa kesombongan adalah musuh dari keberkahan.

Peran Wanita Tani dan Taburan Air Bunga di Pinggir Sawah

Setelah doa dan siraman air berkat, para perempuan tani mengambil peran. Mereka menyiapkan bunga dan dedaunan yang diletakkan di Ateung Blang (pinggiran sawah) masing-masing. Ini bukan sekadar hiasan, tapi bentuk doa dalam diam, dalam kesederhanaan. Sebuah penghormatan kepada alam dan kehidupan.

Warisan yang Perlu Dijaga

Sayangnya, tradisi seperti ini sudah mulai langka di banyak tempat. Kecamatan Panga di Aceh Jaya bisa dibilang satu-satunya wilayah di daerah itu yang masih setia melaksanakan Kenduri Blang setiap tahun. Di tempat lain, tradisi mulai tergantikan dengan cara-cara praktis yang kadang terasa kosong makna.

Padahal, tradisi ini lebih dari sekadar ritual. Ia adalah cara hidup, cermin dari nilai-nilai masyarakat Aceh: kerja keras, syukur, kebersamaan, dan kepercayaan penuh kepada Sang Pencipta.

Kekompakan Para Petani dari Masyarakat Adat dalam Menyajikan Masakan dan Hidangan Keunduri Blang di Kecamatan Panga.*

Harapan untuk Generasi Muda

Untuk anak-anak muda Aceh Jaya dan seluruh Nusantara, semoga tradisi ini tidak hanya jadi cerita dari masa lalu. Kenduri Blang bisa jadi sumber inspirasi. Bukan untuk dilestarikan karena kewajiban, tapi karena memang ia memberi makna. Mengingatkan kita bahwa menanam padi bukan sekadar urusan pangan, tapi juga urusan hati.

Jika kita kehilangan tradisi ini, kita bukan hanya kehilangan acara tahunan. Kita kehilangan akar. Maka, mari kita rawat Kenduri Blang dan warisan-warisan budaya lainnya. Tidak harus dengan cara yang rumit—cukup dengan ikut hadir, ikut berdoa, ikut makan bersama, dan menghargai makna di balik setiap prosesi.

Karena siapa lagi yang akan menjaga budaya kita, kalau bukan kita sendiri?

Oleh Samsuarni, S.E.