Kilas Misteri Sejarah Kubu Aneuk Manyak Geumpang Pidie

Tapal Kilas Sejarah Heroik Kubu Aneuk Manyak Geumpang Yang Dapat Diziarahi Oleh Para Sejarahwan dan Wisatawan Di Tanah Aceh.*

ACEH | NanggroeNews.com Kilas Sejarah masa dulu pada zaman penjajahan di Bumi Tanoh Rencong (Atjeh) Lampau, meninggal sejarah pilu di pertengahan hutan Pidie yang menghubungkan dengan Meulaboh (Aceh Barat).

Kisah perjalanan dan karomah (Keuramat) Kubu Aneuk Manyak Geumpang ini sebagaimana diceritakan kilas kutipan dari tulisan Pemangku Adat Wilayah Geumpang, Pidie, Aceh yang pajang pada dinding balai berdampingan diarea makam tersebut.

Cerita ini penulis merangkai ketika pertama kalinya berziarah di kuburan syahid tersebut dimasa pasca Tsunami Aceh dan Pasca konflik berkepanjangan, sehingga akses jalan lintas kawasan Kubu Aneuk Manyak menjadi transportasi lintasan alternatif pada tahun 2005 silam.

Kala itu dikutip cerita singkat ini dari pemangku Adat pedalaman yang menetap di seputaran makam tersebut, menceritakan kuburan yang terletak di tengah ini disebut kubu Aneuk Manyak (kuburan anak-anak), yang pada dasarnya di tempat ini dikuburkan dua (2) orang mayat, salah satu diantaranya adalah seorang lelaki dewasa dan yang seorang lagi adalah mayat anak laki-laki yang masih berumur 4 tahun.

Konon cerita, kedua makam tersebut merupakan korban pembunuhan dengan tujuan perampokan, sesuai  sumber turun-temurun diperoleh pada  kejadian ini sekitar tahun 1925.

Di daerah ini sejak zaman penjajahan Belanda sekitar tahun 1925 telah dibangun jalan setapak yang menghubungkan kecamatan Geumpang, Pidie dengan kecamatan sungai Mas, Aceh Barat.

Sejak kala itu jalan ini sudah ramai digunakan oleh pejalan kaki, baik oleh serdadu belanda untuk patrol maupun oleh pejuang Aceh yang pada saat itu di sebut Muslimin.

Dalam rangka membawa serta mencari informasi antara Pidie dengan Meulaboh, jalan ini juga berfungsi sebagai sarana perekonomian yang saat itu sangat menonjol perdagangan ternak hewan (kerbau) yang berasal dari daerah pedalaman Meulaboh dipasarkan ke daerah Pidie.

Dengan demikian terjadilah pembauran antara masyarakat Meulaboh dengan masyarakat Pidie yang wujudnya banyak masyarakat Pidie berumah tangga (kawin) di Meulaboh begitu juga sebaliknya yang hingga kini kedua daerah tersebut kedua daerah tersebut banyak masyarakat yang memiliki ikatan keturunan.

Dikisahkan ditengah masyarakat Adat ada seorang laki-laki yang bernama Tgk. Murhaban yang berasal dari Meulaboh (Kampung Aslinya tidak di ketahui) dalam perjalanan pulang-pergi antara Meulaboh dan Pidie sekitar tahun 1932 berumah tangga (kawin) dengan seorang perempuan Pidie (Geumpang Keumala) yang bernama Maisarah.

Alhasil dari perkawinan itu, Tgk Murhaban dikaruniai seorang bayi laki-laki yang menurut kisah sangat tampan. Ketika si kecil masih berusia 4 tahun dan Ibunya, Maisarah, meninggal dunia.

Sejak kala itu, si kecil hanya memiliki satu-satunya pelipur lara dan pengobat duka, yakni ayahanda tercinta, Tgk. Murhaban, selanjutnya beberapa bulan lamanya, hingga pertengahan 1935, bapak dan anak ini memutuskan untuk pulang kembali ke kampung halamannya di Meulaboh.

Seusai meminta pamit dari mertuanya, dengan menjual seluruh harta benda melimpah ruah, dia sudah siap menjadi seorang pengusaha kaya raya yang hidup di zaman itu.

Semua kekayaan yang dimilikinya termasuk segudang kepingan uang emas, serta sejumlah harta benda yang bernilai tinggi dibawa pulang ke tanah kelahirannya, di Meulaboh (Aceh Barat).

Kabar kepulangan tersebut diberitahukan kepada seluruh kerabatnya. Salah seorang temannya secara sengaja mendatangi beliau untuk menanyakan kapan persisnya kepulangan tersebut. Tanpa menaruh rasa curiga, Murhaban pun membeberkan tanggal dan hari tepat dirinya berangkat menuju Meulaboh.

Senja berganti, ayah dan anak piatu yang ditemani seorang sahabat karibnya itu melenggang pulang ke tanah kelahiran ayahnya.

Dengan tertatih menyusuri jalanan yang terjal, bebatuan, hingga semak belukar yang menjadi dinding langkahnya, tibalah ketiga si pengembara di Gampong Bangkeh. Tepatnya di rumah geuchik setempat, yang kala itu dijabat oleh M. Daud (konon sebutannya).

Dengan penuh rasa hormat, Murhaban memohon untuk bermalam di rumah orang yang paling disegani oleh masyarakat itu. Keesokan harinya, mereka bertiga kembali pamit untuk melanjutkan perjalanan semula, dengan menenteng “bu kulah” (nasi bungkus pakai daun pisang).

Namun, entah bagaimana kelanjutannya, sahabat yang setia menemani itu sekitar dua hari berselang, tiba-tiba bergegas kembali pulang ke Gampông Bangkeh, sekaligus untuk kedua kalinya berjumpa dengan Geuchik Daud. Mereka sempat berbincang dengan warga setempat.

Sang sahabat tadi mengaku tak dapat melanjutkan perjalanan menemani Murhaban, karena terserang demam tinggi. Dia mengatakan khawatir penyakit yang dideritanya akan bertambah parah hingga diputuskan hari itu juga meninggalkan Gampong Bangkeh. Selanjutnya, dia meyebutkan perlu berobat ke Pidie.

Keesokan harinya, kawasan Geumpang yang dilalui Murhaban dan anaknya didatangi segerombolan serdadu Belanda.

Setiba di Gampong Bangkeh, mereka menanyakan kepada Geuchik setempat, apakah dalam beberapa hari terakhir ini ada masyarakat yang melintas di jalan tersebut. Pasalnya, serdadu Belanda itu menemukan dua mayat terbujur kaku, tergeletak di kawasan Neungoh Ukheue Kayee (Pendakian Akar Kayu), yang merupakan korban penganiayaan. Tubuh kedua mayat tersebut tercabik-cabik dengan kondisi mengenaskan.

M. Daud, atas perintah Ulee Balang, langsung memerintahkan masyarakat Bangkeh mengecek kebenaran berita tersebut. Setelah didalami dan ditelusuri dengan seksama, ternyata dua mayat dimaksud adalah Tgk. Murhaban dan anaknya yang berusia 4 tahun.

“Lehernya digorok, tubuhnya tercabik-cabik terkena sayatan senjata tajam. Keduanya dikebumikan dalam satu lobang, mengingat sudah membusuk dan tragis sekali nasibnya. Ini Jelas-jelas akibat penganiayaan,” ungkap warga kala itu kepada M. Daud (dalam kisah terkutip).

Keterangan tersebut dilaporkan pada Ulee Balang untuk selanjutnya dilakukan penyelidikan. Hasil informasi yang digali dan dikumpulkan dari beberapa warga yang melihat terakhir kalinya almarhum, disimpulkan bahwa yang melakukan pembunuhan adalah sahabat Murhaban sendiri.

Di bawah perintah Ulee Balang, kemudian sahabat yang menemani pengusaha kaya raya itu akhirnya ditangkap. Hasil interogasi aparat gampông setempat, orang tersebut mengakui telah membunuh Murhaban dan anaknya untuk memperoleh harta benda yang dibawa saudagar itu. Tersangka pun dijatuhi hukuman berdasarkan hukum adat kala itu.

Sejarah ini dijadikan sebutan nama Dusun Kubu Aneuk Manyak, Gampong Tungkop, Kecamatan Sungai Mas, Aceh Barat.

Kisah heroik ini, menjadi terkesan mengenang kejadian masa lampau Masyarakat Aceh dan mendirikan sebuah musalla disekitar makam tersebut diberi nama Al-Muhajirin agar mempermudah para penziarah dan wisatawan sejarah saat mengunjungi pedalaman Pidie dan Aceh Barat itu.*[][][]