‎Esai Sastra: Sunyi di Antara Halaman yang Tak Terbuka

Ilustrasi Minat Baca Masyarakat.*

Oleh: Redaksi

Ada masa ketika buku adalah jendela, dan setiap halaman adalah cahaya. Di ruang-ruang sederhana, anak-anak membaca kisah pahlawan dan dongeng rakyat di bawah lampu minyak, sementara angin malam membawa aroma hujan dan suara jangkrik menyertai imajinasi yang berlari jauh ke negeri-negeri tak dikenal. Kini, pemandangan itu perlahan menghilang. Buku masih ada, tapi pembacanya semakin jarang.

‎Kita sering menuduh masyarakat malas membaca, seolah budaya malas itu lahir dari udara.

Padahal, yang malas bukan jiwa mereka melainkan sistem yang tak lagi menumbuhkan rasa ingin tahu. Bacaan yang tersedia di perpustakaan sering hanya berupa buku pelajaran dengan huruf-huruf kaku dan paragraf yang dingin, seolah ilmu tak punya aroma kehidupan.

Buku fiksi, kisah inspiratif, atau cerita rakyat bergambar hanya menjadi pelengkap formalitas terselip di sudut rak yang tak dijamah.

‎Survei Perpustakaan Nasional pada 2023 pernah mencatat, 52 persen masyarakat menganggap isi perpustakaan membosankan dan tidak sesuai minat.

Angka itu berbicara lebih dari sekadar data; ia adalah keluhan sunyi dari pembaca yang haus makna namun disuguhi teks yang beku.

Membaca, bagi banyak orang, bukan lagi perjalanan jiwa, melainkan kewajiban yang melelahkan.

‎Buku tak akan pernah bisa memikat jika ia dihadirkan tanpa rasa. Dan rasa itu, kini makin sulit ditemukan terutama di tempat-tempat di mana akses terhadap bacaan nyaris mustahil.

Di beberapa pelosok Aceh, bahkan di banyak sudut Nusantara, perpustakaan ibarat janji yang belum ditepati. Satu perpustakaan harus menampung ribuan jiwa, dan jaringan internet yang tak menentu membuat e-book hanyalah wacana di udara.

‎Kita hidup di zaman yang sibuk berbicara, namun enggan mendengar. Zaman yang mencintai informasi cepat, tapi tidak punya waktu merenung. Masyarakat lebih rajin menggulir layar daripada membuka halaman. Kata-kata yang dulu lahir dari keheningan kini tenggelam di keramaian notifikasi. Kita tahu banyak hal, tapi memahami sedikit.

Sekolah pun jarang mengajarkan cinta pada buku. Membaca di sana menjadi tugas wajib, bukan perjalanan imajinasi. Anak-anak disuruh membaca untuk nilai, bukan untuk makna. Mereka mengenal huruf, tetapi tidak mengenal rasa di baliknya. Padahal, membaca bukan hanya aktivitas mata, ia adalah gerak jiwa yang mencari arah.

Beberapa daerah mencoba melawan arus: membuka taman baca di pinggir pantai, menyiapkan pojok literasi di warung kopi, atau membuat rak buku di meunasah desa.

Di tempat-tempat sederhana itulah, harapan kembali menyalakan lentera kecil di hati anak-anak yang haus cerita. Namun, api itu belum cukup besar untuk menerangi seluruh negeri.

Mungkin, bangsa ini sedang kehilangan hubungan spiritual dengan buku. Kita tak lagi menjadikan membaca sebagai bagian dari ibadah batin. Kita sibuk mencari tahu, tapi tak sempat memahami. Kita ingin cepat pintar, tapi lupa bagaimana cara bijak.

Membaca seharusnya menjadi bentuk perenungan tempat manusia bertemu dengan dirinya sendiri. Sebab setiap kata adalah cermin, dan setiap buku adalah perjalanan pulang. Bila bangsa ini ingin bangkit, maka harus kembali berdamai dengan huruf-huruf yang dulu membentuknya.

‎Sebab, ketika buku tak lagi dikenang, kita sebenarnya sedang kehilangan diri kita sendiri, pemahaman cerita dan sejarah dilingkungan nya terabaikan oleh jiwa pemerhati.[][][]